Friday, September 9, 2016

TEORI CLIENT-CENTERED



CLIENT CENTERED TERAPHY


A.     Konsep Dasar Client Centered Teraphy
            Client centered Teraphy dikembangkan oleh Carl Person Rogers salah seorang psikolog klinis yang sangat menekuni bidang konseling dan psikoterapi. Dia dilahirkan pada 1902 di Loark Park Ilionis.
            Berdasarkan sejarahnya teori konseling yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perubahan,pada awalnya dia menggembangkan pendekatan konseling yang disebut non-derektive counseling (1940) . Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling. Pada tahun 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client centered counseling sehubungan dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekenkan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Enam tahun berikutnya  pada 1957 Rogers mengubah kembali pendekatanya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centered) yang memandang klien sebagai patner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien  maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan pengalamanya pada saat  hubungan konseling berlangsung.
            Konseling berpusat pada person ini memperoleh sambutan positif  dari kalangan ilmuan maupun praktisi sehingga dapat berkembang  secara pesat. Hingga saat ini  pendekatan konseling ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan . Dalam kaitan ini Geldart (1989) menyatakan bahwa gaya Rogers ini memiliki kekuatan (powerfull) dan manfaat (useful) dalam membantu klien.

B.     Evolusi Pendekatan Client Centered
Penekanan terhadap klien sebagai yang ahli dan si konselor sebagai sumber refleksi dan motivasi, terekam dalam desain pendekatan konseling “tidak langsung”. Dalam studi yang dilaksanakan oleh Rogers dan muridnya di Universitas Ohio, tujuannya adalah untuk mempelajari efek terhadap perilakdan  direktif dan non direktif pada sisi konselor. Peneltian ini merupakan riset pertama yang melibatkan penggunaan perekaman dan transkripsi langsung sesi terapi aktual.
Saat itu dalah akhir dari perang dunia dan pulangnya personil tentara dalam jumlah yang besar. Banyak di antara mereka trauma atas pengalaman yang mereka alami. Dan, hal tersebut adanya tuntutan untuk menolong yang dapat di akses dan praktis untuk menghadapi transsisi kembali kembali pada kehidupan sipil. Bentuk psikoterapi yang dominan saat itu adalah psikoanalisis yang terlalu mahal untuk tentara dalam jumlah besar. Pendekatan behavioral belum muncul. Pendekatan non direktif Rogers merepresentasikan solusi ideal dan generasi psikologi dilatih, atau Universitas lain oleh para kolega Rogers.
Studi yang dilakukan oleh Truax (1966) dan lainnya menyarankan bahwa seharusnya konselor non direktif secara subtil menguatkan pernyataan  tertentu yang dibuat oleh klien, dan tidak menawarkan ketertarikan, penguatan atau persetujuan mereka ketika peryantaan dengan tipe yang berbeda dibuat. Penekanan pada perubahan ini ditandai dengan penanaman kembalipendekatan tersebut menjadi client-centered. Publikasi kunci pada periode ni adalah client-centerd therapy oleh Charl Rogers (1951) dan koleksi paper riset Rogers dan Dymond (1954).
Paper yang ditulis oleh Rogers pada 1957 tentang “perlu dan tercukupinya : kondisi empati, kongruen, dan penerimaan, yang kemudian hari dikenal sebagai model “kondisi inti” (core condition), bersama dengan apa yang diformulasikannya sebagai terapi “konsepsi proses” (prosess conception) merupakan landasan yang penting.
Evolusi pendekatan client centered selama 50 tahun mengilustrasikan banyak faktor sosial dan kultural penting. Terapi client-centered diciptakan dari sintesis terapi “pemahaman”. Penekana terhadap model penerimaan diri dan smplisitas teoritis membuatnya sebagai terapi yang sesuai untuk tentara yang pulang dari perang, dan membuatnya menjadi pendekatan paling berpengaruh pada waktu itu.  
 
C.     Teori Kepribadian
            Untuk memahami lebih luas tentang pandanganya tentang manusia perlu dipahami tentang pandangan Roger tentang kepribadian. Rogers  mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsur yang sangat esensial dalam hubunganya tentang kepribadian yaitu self, medan fenomena, dan organisme.
1.      Self
Self  adalah bagian dari kepribadian yang terpenting pada pandangan rogers . self (disebut juga  struktur self atau self concept) merupakan presepsi dan nilai – nilai  individu tentang dirinya atau hal – hal lain yang berhubungan dengan dirinya. Self merupakan suatu  konsepsi yang merupakan presepsi mengenai dirinya “I”  atau “ me” dan presepsi hubungan dirinya  dengan orang lain dengan segala aspek kehidupanya.
Self meliputi dua hal yaitu self riil dan self ideal . Real self merupakan gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata dan ideal self merupakan apa yang menjadi kesukaan, harapan, atau yang idealis tentang dirinya.
2.      Medan fenomenal
Medan fenomenal  (fenomenal fieled) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya’ baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Pengalaman yang meliputi peristiwa-peristiwa yang diperoleh dari pengamatan dan dari apa yang pernah dilakukan individu. Pengalaman ada yang bersifat internal yaitu persepsi mengenai dirinya sendiri dan pengalaman yang bersifat eksternal yaitu persepsi mengenai dunia luarnya . Pengalaman–pengalaman ini berbeda untuk setiap individu.
Kita dapat memhami medan fenomenal seseorang hanya dengan  menggunakan kerangka pemikiran internal individu yang bersangkutan .Pemahaman secara empati sebagai bentuk internal frame of reference sangat berguna  dalam  memahami medan fenomenal ini.

3.      Organisme
Organisme merupakan keseluruhan totalitas individu yang meliputi pemikiran,perilaku dan keadaan fisik . Organisme mempunyai satu kecenderungan dan dorongan dasar yaitu mengaktualisasikan , mempertahankan dan mengembangkan diri. Perilaku itu merupakan usaha organisme yang berarah tujuan (goal directed) yaitu untuk memuaskan kebutuhan sebagaimana di dalamnya  dan di dalam medan sebagaimana yang diamatinya .

Kepribadian menurut Rogers  merupakan hasil dari interaksi  yang terus menerus antara organisme, self, dan medan fenomenal. Untuk memahami perkembangan kepribadian perlu dibahas dengan dinamika kepribadian sebagaimana berikut ini.

a.       Kecenderungan mengaktualisasi
Rogers beranggapan bahwa organisme manusia adalah unik  dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, mengontrol dirinya, dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu manusia berkecenderungan untuk mengaktualisasi diri yaitu untuk mengembangkan seluruh kemampuannya dengan jalan memelihara dan meningkatkan  organisme kearah otonomi. Kecenderungan mengaktualisasi sebagai daya dorong individu yang bersifat inherent karena sudah dimiliki sejak dilahirkan, hal ini ditunjukan dengan kemampuan bayi untuk memberikan penilaian apa yang terasa baik dan yang terasa tidak baik terhadap peristiwa yang diterimanya.

b.      Penghargaan positif dari orang lain
Self berkembang dari interaksi yang dilakukan organisme dengan relitas lingkunganya dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu. Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh oleh orang–orang yang bermakna baginya. Seseorang akan berkembang secara positif jika di dalam berinteraksi itu mendapatkan penghargaan, penerimaan, dan cinta dari orang lain. Sepanjang berinteraksi dengan orang lain itulah individu membutuhkan penghargaan secara positif. Jika kebutuhan ini diperolehnya maka individu juga akan belajar dan merasakan dirinya sebagai orang yang berharga,dapat menerima dan mencintai dirinya sendiri. Memperoleh penghargaan positif dari orang lain tanpa syarat dan penghargaan diri secara positif pada hakikatnya adalah kebutuhan setiap individu.

c.       Person yang berfungsi secara utuh
Individu yang terpenuhi kebutuhannya yaitu memperoleh penghargaan positif  tanpa syarat dan mengalami penghargan diri akan dapat mencapai kondisi kongruesi antara self dan pengalamannya pada akhirnya dia akan dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik.

D.    Hakikat Manusia
Berangkat dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa Rogers menolak pandangan Freud  bahwa perilaku manusia cenderung tidak disadari, irasional, dan distruktif. Sebaliknya Rogers beranggapan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengendalikan dirinya sendiri.
Secara lebih lengkap hakikat manusia menurut rogers adalah sebagai berikut:
§  Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi. Hal ini dapat dipahami bahwa organisme akan mengaktualisasikan kemampuannya dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.
§  Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang medan fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang dipersepsi . Oleh karena itu persepsi individu  tentang medan fenomenal bersifat subyektif.
§  Manusia pada dasarnya bermartabat dan berharga  dan dia memiliki nilai–nilai yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baik bagi dirinya.
§  Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif tidak merusak dirinya

E.     Perilaku Bermasalah
Perilaku Bermasalah menurut Rogers adalah ketika tidak adanya hubungan yang kongruen antara real self dan ideal selfnya serta selfas thought to be seen by others.
Dikatakan bermasalah apabiala tidak ada kesesuaian antara pengalaman dengan self atau dalam keadaan kongruensi yang segala pengalamannya dianggap ancaman dan individu terus melakukan distorsi dan penolakan terhadap pengalaman-pengalamannya.
Karekteristik orang yang bermasalah seperti pengasingan, ketidakselarasan antara pengalaman dengan self, mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensif, dan berperilaku salah penyesuaiannya.

F.      Prinsip-Prinsip Konseling
Berdasarkan pandangan Rogers tentang hakikat manusia konseling berpusat pada person dilaksanakan berdasarkan prinsip–prinsip sebagai berikut:
·        Konseling berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara–cara menghadapi kenyataan secara lebih sempurna.
·        Menekankan pada dunia fenimenal klien  dengan jalan member empati dan perhatian terutama pada persepsinya terhadap dunianya.
·        Konseling ini dapat diterapkan pada individu yang dalam kategori normal maupun yang mengalami derajat penyimpangan psikologis yang lebih berat.
·        Konseling merupakan salah satu contoh hubungan pribadi yang konstruktif.
·        Konselor perlu menunjukan sikap tertentu untuk menciptakan hubungan terapeutik yang efektif terhadap klien (Corey, 1988 ).

G.    Tujuan Konseling
Berangkat dari pandangan Rogers tentang kepribadian sebagaimana telah diuraikan pada bagian di atas jelas bahwa Rogers menaruh perhatian pada keadaan psikologis  yang sehat yang dapat menyesuaikan secara psikologis.
Secara ideal tujuan konseling berpusat pada person tidak terbatas oleh tercapainya pribadi kongruesi saja. Bagi Rogers, tujuan konseling pada dasarnya  sama dengan tujuan kehidupan ini yaitu apa yang disebut dengan fully functioning person yaitu pribadi yang berfungsi sepenuhnya.
Sahakian (1976) merinci secara detail fully functioning person sebagai berikut:
1.      Dia akan terbuka terhadap pengalamannya dan keluar dari kebiasaannya untuk defensive.
2.      Karena itu seluruh pengalamannya akan dapat disadari sebagai sebuah kenyataan.
3.      Seluruh yang disimbolisasi atau yang dinyatakan secara verbal maupun dalam tindakan adalah akurat yang sebenarnya sebagaimana pengalaman itu terjadi.
4.      Struktur selfnya akan kongruesi dengan pengalamanya.
5.      Struktur selfnya akan mampu berubah secara fleksibel sejalan dengan pengalaman baru.
6.      Pengalaman selfnya akan dijadikan sebagai pusat evaluasi.
7.      Dia akan memiliki pengalaman self regard.
8.      Dia akan berperilaku secara kreatif untuk beradaptasi terhadap peristiwa-peristiwa yang baru.
9.      Dia akan menemukan nilai organismenya terpercaya mengarah pada perilaku yang sangat memuaskan ,karena seluruh pengalamanya dapat disadari,
10.  Dia akan dapat hidup dengan orang lain dengan keadaan sangat memungkinkan untuk harmonis sebab dia tetap menghargai secara positif karakter secara timbal balik.

H.    Kondisi Konseling dan Peran Konselor
Dalam pandangan Rogers, konselor lebih  banyak berperan sebagai partner klien dalam memecahkan masalahnya. Dalam hubungan konseling konselor ini lebih banyak memberikan kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan  segala permasalahanya, perasaan dan persepsinya dan konselor merefleksikan segala yang diungkapkan klien. Agar peran ini dapat dipertahankan dan tujuan konseling dapat dicapai kondisi–kondisi yang dapat diciptakan itu adalah sebagai berikut:
·        Konselor dan klien berada dalam hubungan psikologis
·        Klien adalah orang yang mengalami kecemasan, penderitaan dan ketidakseimbangan.
·        Konselor adalah benar–benar dirinya sejati dalam berhubungan dengan klien .
·        Konselor merasa atau menunjukan unconditional positif regard pada klien.
·        Konselor menunjukan adanya rasa empati dan memahami tentang kerangka acuan  klien dan memberitahukan pemahamannya  kepada klien.
·        Klien menyadari usaha konselor yang menunjukan sikap empatik berkomunikasi dan unconditioning positif regard pada klien.

I.       Tahapan Konseling/Teknik Konseling
Penekanan masalah ini adalah dalam hal filosofis dan sikap konselor ketimbang teknik, dan mengutamakan hubungan konseling ketimbang perkataan dan perbuatan konselor. Implementasi teknik konseling didasari oleh paham filsafat dan sikap konselor tersebut. Karena itu teknik konseling Rogers berkisar antara lain pada cara-cara penerimaan pernyataan dan komunikasi, menghargai orang lain dan memahaminya (klien). Karena itu dalam teknik amat digunakan sifat-sifat konselor berikut:
a.       Acceptance artinya konselor menerima klien sebagaimana adanya dengan segala masalahnya. Jadi sikap konselor adalah menerima secara netral.
b.      Congruence artinya karakteristik konselor adalah terpadu, sesuai kata dengan perbuatan dan konsisten.
c.       Understanding artinya konselor harus dapat secara akurat dan memahami secara empati dunia klien sebagaimana dilihat dari dalam diri klien itu.
d.      Nonjudgemental artinya tidak memberi penilaian terhadap klien, akan tetapi konselor selalu objektif.

J.      Kelebihan dan Keterbatasan Client-Centered Teraphy
1.      Kelebihan
Pendekatan Client-Centered merupakan corak yang dominan yang digunakan dalam pendidikan konselor, beberapa alasannya adalah:
a.    Terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan.
b.    Terapi Client-Centered menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran.
c.    Para terapis Client-Centered secara khas mereflesikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para klient untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri.

Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
a.    Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien,  memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
b.    Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
c.    Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
d.    Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
e.    Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
f.      Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
g.    Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.

Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya.

2.      Kelemahan
Adapun kelemahan pendekatan Client-Centered terletak pada beberapa hal berikut ini:
a.    Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered.
b.    Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
c.    Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
d.    Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.

Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan Client-Centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi Client-Centered tidak hhlebih dari pada tekhnik mendengar dan merefleksikan. Tetapi Client-Centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka Client-Centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi Client-Centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil

K.    Kasus yang Sesuai dengan Client-Centered Teraphy
Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak di sangkal.
Berikut ini ada contoh kasus yang biasa ditangani oleh pendekatan Client-centered. Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan dengan fikiran itu, karena ternyata dia berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sengit penuh rasa iri kepada adiknya yang sudah mempunyai pacar. Padahal, terhadap adik sendiri seorang kakak tidak boleh bertindak begitu. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup jurang pemisah antara dua kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya menemukan dirinya kembali sebagai orang yang pantas (person of worth).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis, yakni ia beranggapan bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya sendiri tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori Rogers berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif. Perubahan pribadi akan timbul jika terapis yang selaras bisa membangun hubungan dengan klienya, suatu hubungan yang ditandai oleh kehangatan, penerimaan, pengertian empatik yang akurat. Konseling terapeutik berlandaskan hubungan Aku-Kamu, atau hubungan pribadi ke pribadi dalam keamanan dan penerimaan yang mendorong klien untuk menanggalkan pertahanan-pertahanannya yang kaku serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek dari sistem dirinya yang sebelumnya diingkari.
Terapi Client-Centered menempatkan tanggung jawab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka kepada pengalaman, mempercayai organismenya sendiri, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dari aktualisasi diri. Terapis tidak mengajukan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang spesifik kepada klien, klien sendirilah yang menetapkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai hidupnya yang spesifik.

No comments:

Post a Comment